Total Tayangan Halaman

Jumat, 03 Agustus 2012

Sahabat sejati

Awalnya aku tidak percaya sahabat sejati itu memang ada, sama sekali tidak percaya! Bagiku semua itu bulshit adanya. Sahabat yang selalu ada untukku, berbagi suka duka bersama, dan menjunjung tinggi semangat persaudaraan, bagiku tidak pernah ada di dunia ini. Satu pun tidak akan pernah ada. Semua akan hilang dan meninggalkanku!

Tapi, suatu ketika ada sebuah rahasia besar yang mengubah paradigmaku mengenai sahabat sejati. Ada yang terlupakan dari semua ini. Terselip begitu saja. Aku mengacuhkan hal berharga itu. Aku memang masih memahami konsep sahabat sejati hanya hoax belaka, kecuali, dengan satu kemungkinan : jika kau membuka hatimu untuk menerima sesuatu yang riskan itu, sahabat sejati itu mungkin bukanlah sebuah omong kosong belaka.
***
Aku berdiri mematung di kantin. Bergeming seraya fokus melihat dengan pandangan jijik. Sosis merah dilumuri saus yang seolah – olah menggiurkan, bakso yang begitu kenyal, keripik yang rasanya sangat gurih, mie yang terlihat sangat liat sekali, dan otak – otak yang tak ubahnya seperti makanan – makanan rusak. Aku begitu phobia melihat makanan – makanan itu. Ya, baru melihatnya saja aku sudah seperti itu, apalagi memakananya, dijamin aku akan koma beberapa bulan!

Semua makanan rusak itu begituku benci, karena gara – gara makanan – makanan itu sahabatku, Anita, meninggal dunia! Anita, sahabat terbaikku (dan kupikir juga sahabat sejatiku), terkena kanker otak yang disebabkan oleh makanan – makanan yang  banyak mengandung boraks, formalin, dan entah bahan kimia apa yang terkandung di dalamnya. Dokter mendiagnosis di dalam tubuhnya sudah ada 6 g boraks yang mengendap sejak bertahun – tahun (itu belum termasuk zat – zat kimia lainnya seperti, pewarna dan pengawet).

Sel – sel kanker yang ada di tubuh Anita berkembang begitu cepat. Daya tahan tubuhnya juga tak kuat menahan serangan demi serangan yang diluncurkan oleh racun –racun itu. Ditambah lagi Anita tidak suka makan sayur – sayuran dan buah – buahan. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya. Dan, semenjak saat itu aku begitu membenci makanan itu. Makanan rusak itu.

“Rara …” Yani teman sekelasku, kelas 7.8 tepatnya, berlari kearahku. Rambut panjangnya yang digerai bergoyang – goyang di terpa angin. Menurutku ia cukup manis. “Jajan, yuk.  Aku punya uang jajan lebih, nih. Hasil lomba pidato kemarin. Aku ingin mentraktir kamu. Syukur – syukur bisa menghilangkan dukamu atas kehilangan Anita. Mau, ya!”
Aku merasakan ada kejanggalan di perkaannya itu. Aku berpikir seperkian detik sebelum menemukan jawaban yang cocok untuknya, “Maksudmu? Oh! Kamu senang Anita meninggal? Lalu, kamu merayakan kepergian Anita dengan mentraktir aku, begitu? Kamu jahat, Yan!”
Aku benar – benar tak habis pikir dengan Yani. Anita itu sahabat terbaikku, tidak boleh ada yang memperlakukannya seperti itu. Menyebalkan!

“Kok, kamu bicaranya ketus seperti itu, sih?  Sekalipun aku tidak pernah bahagia dengan kepergian Anita. Itu tidak mungkin.” Tukas Yani dengan mata yang berkaca- kaca. “Aku hanya tidak ingin melihatmu bersemedi dengan kesedihanmu itu. Aku ingin jadi teman baikmu.”
“Kamu tidak akan bisa menggantikan Anita, Yani!” emosiku semakin meluap, “Aku  sangat menyayangi Anita, wajar kalau aku sedih atas kepergiannya.”
“Tapi ini terlalu jauh, Ra. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir – akhir ini kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup. Kamu bukan Rara yang aku kenal.”
“Terserah!” Sebelum aku benar – benar pergi meinggalkan Yani, aku sempat melirik sosis yang ia lahap begitu nikmat. “Racun.” Ucapku tegas dan dalam. Aku melihat ekpresi wajah Yani mendadak khawatir. Aku pun berlalu setelah membuatnya depresi berat.

***
Sepulang sekolah aku menunggu kereta di stasiun Kebayoran Lama, tepatnya di kawasan Jakarta Selatan. Rumahku di Tanah Abang. Sementara aku bersekolah di SMPN ** Jakarta, kecamatan  Kebayoran baru. Otomatis dengan begitu, aku harus menggunakan kereta untuk sampai ke rumahku.
Huek! Aroma khas dari keringat para manusia merasuki hidungku dengan sangat semangat saat aku masuk ke dalam kereta. Desak – desakkan penumpang membuat hatiku semakin kesal. Para pedagang pun menambah kebisingan. Ah … izinkan aku pingsan!!!

Kejengkelan hatiku semakin merajalela saat aku mengingat kembali perkataan Yani tadi pagi.
“Tapi ini terlalu jauh, Ra. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir – akhir ini kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup. Kamu bukan Rara yang aku kenal.”
Ishh! Memangnya dia tahu apa tentang hidupku? Menyebalkan! Luka hatiku saja belum sembuh benar atas kehilangan Anita. Aku trauma! Dia adalah sahabat terbaikku, selalu bersamaku, kami berbagi suka dan duka. Yani itu tidak tahu apa – apa. Seharusnya dia tak perlu ikut campur urusanku!

Memang benar, akhir – akhir ini sifatku begitu berubah, aku akui itu. Jujur, hidupku hampa. Tak ada motivasi. Tak ada semangat. Bahkan aku tidak ingin berteman dengan siapapun. Aku tidak mau menyayangi siapapun lagi. Sudah cukup aku kehilangan Anita, tidak lagi untuk yang kedua kalinya.

Jangan dekat dengan siapapun, jangan menyayangi siapapun, dan jangan percaya pada sahabat sejati karena sahabat sejati tidak pernah ada, dengan begitu kau tidak akan pernah menangis akan kehilangan. Itulah prinsipku saat ini. Aku berusaha untuk membenci atau lebih tepatnya menjauhi siapapun saat ini. Egois dan bodoh memang. Rasa trauma sudah mendarah daging dalam jiwaku. Aku seperti kehilangan jati diri. Biarkan! Aku tidak peduli.

***

Aku bergegas turun dari  kereta di stasiun Tanah Abang. Setelah memastikan aku berdiri di tempat yang aman, aku pun merapikan ikatan sepatuku agar tidak terinjak – injak. Lalu, membenarkan letak tas punggungku.
Kebetulan, tepat di sampingku ada penjual cermin, tentu saja aku berkaca sebentar dan terkejut sebentar. Wajahku seperti kepiting goreng, direbus, diberi beberapa cabe, digoreng lagi, lalu hangus! Berlebihan memang, tapi hal itu cukup menggambarkan bahwa karbon monoksida bus Metromini sanggup membuat wajahku seperti ini. Rambutku yang sebahu aku ikat. Tak dapat dipungkiri Jakarta memang sangat panas!

Setelah puas melihat bentuk wajahku yang tak karuan, aku kembali berjalan. Namun, tiba – tiba saja mataku terfokus pada satu titik. Aku melihat seorang gadis kecil sedang mengais – ngais tong sampah yang ada di dekatnya. Lalu gadis itu berjalan ke gerbong tua yang sudah tidak terpakai lagi. Ia duduk disana sambil memakan apa yang dia ambil dari tong sampah.

“Makanan rusak. Racun.” Gumamku. Tadinya aku hendak berlalu begitu saja, sayangnya getaran aneh di hati ini mencegahku. Getaran yang membuat hatiku tergerak untuk memberikan bekalku yang tak kumakan, karena sudah merasa mual melihat jajanan kantin yang menjijikan. “Apa salahnya? Toh, hanya memberinya dua potong roti. Hal itu tidak akan mungkin membuatku dekat dengannya.” Gumamku lagi.

Aku pun mendekatinya dengan tampang jijik. Tapi sejurus kemudian sirna saat melihat wajah mungil itu. Ada guratan – guratan ketegaran terpancar dari wajahnya. Ia kemudian tersenyum kepadaku.
“Ada yang bisa Caca bantu, kak?” tanyanya sambil membalikkan badannya ke arahku.
“Namanya Caca, ya? Hmmm, tidak ada. Kakak cuma mau Caca menerima roti ini.”

Gadis cilik ini menerima roti pemberianku dengan sangat girang. Rasanya ada kepuasan batin tersendiri di hatiku. Kepuasan batin yang tak pernah ku raih semenjak hatiku selalu tertutup awan hitam, legam, dan pekat.
“Terima kasih, ya, kak. Kakak baik sekali. Pasti Allah sayang sama kakak.”
“Emmm,” aku menggigit bibir sembari berpikir agak keras.
Allah? Sayang denganku? Benarkah?
“Caca sendirian?”
“Iya. Kakak tidak lihat? Tidak ada orang lain bersama Caca selain kakak disini.”
“Bukan.” Hmmm … pintar juga anak ini. “Maksud kakak, dimana orang tua Caca?  Kok Caca sampai mencari makan di tong sampah itu?”

Gadis ini menunduk, tampak jelas ekspresi sedih di wajahnya. Ia kemudian menggeleng.
“Maaf  ….” Tukasku merasa bersalah
Aku merasa ketidakadilan disini. Mengapa Allah tega merenggut kedua orang tua gadis cilik ini. Dia butuh kasih sayang. Oh, malangnya! Dia juga bernasib sama denganku. Menjadi pemeran utama dalam skenario kehilangan.
“Allah memang tidak adil, ya, Ca. Ia selalu mengambil apa yang seharusnya kita miliki.” Ujarku tak habis pikir.

“Astagfirullahalazim!” katanya tegas. “Kok kakak bicara lancang seperti itu? Allah itu maha adil, itu yang selalu ibu bilang saat sebelum kecelakaan itu menimpa keluarga Caca. Bukan berarti Allah tidak adil hanya gara – gara mengambil seluruh anggota keluarga Caca Ibu, Ayah, dan Bang Ihsan.  Justru Allah sayang dengan Caca, karena Allah mengajari Caca untuk hidup mandiri. Dengan begitu Caca akan tegar menghadapi hidup yang keras. Caca bahagia, kok, karena Caca tahu Ibu, Ayah, Bang Ihsan juga bahagia di surga sana.”

Aku terkesiap dengan mata setengah membelalak mendengarnya. Sungguh fenomena menabjubkan! Anak kecil yang umurnya kira – kira belum genap delapan tahun ini bisa berfilosofi demikian! Apa yang membuatnya begitu tegar?
Rasanya aku menjadi sangat rendah dan hina jika dibandingkan dengan anak ini. Aku saja yang kehilangan sahabat terbaikku, Anita, tidak dapat setegar ini. Bahkan, ah … aku malu mengakuinya! Aku memang sangat bodoh dan egois! Haduh … apa sih yang ada di pikiranku saat ini?

“Kakak boleh bertanya satu hal?” kataku seraya menyembunyi gejolak yang ada di hati ini.
“Boleh saja. Kalau Caca bisa jawab ya syukur, kalau tidak, ya … jadi PR saja, deh. Hehehe .” Anak ini begitu ceria. Aku menangkap ketenangan batin yang ada di anak ini. Seperti tidak ada beban sedikit pun yang menghimpitnya.
“Kenapa Caca bisa setegar ini?” pertanyanku terbata – bata.
“Karena Caca punya sahabat sejati.”
Deg.

“….”

Sahabat sejati? Itu yang aku pungkiri selama ini. Bukankah sahabat sejati itu tidak pernah ada. Tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Semua semu dan akan hilang. Tapi, kenapa? Kenapa anak ini begitu percaya kalau sahabat sejati memang benar – benar ada?

“Benarkah?” intonasiku diperlambat untuk menengaskan bahwa aku benar – benar tidak mengerti. “Siapa dia?”

“Itu …,” gadis ini menunjuk ke langit yang begitu cerah. Matanya sedikit menyipit menghindar dari matahari, “Dia ada di
singgasana terbesarnya. Di surga bersama Ayah, Ibu, dan Bang Ihsan. Dia selalu ada untuk Caca. Menemani hidup Caca. Membuat Caca tegar. Tidak akan pernah meinggalkan Caca.” Jawabnya mantap. Bahkan sangat mantap. Tidak ada keraguan sedikitpun di matanya.

“Maksudmu, A …, All …, Allah?” aku sedikit ragu.
“Yup!”
Aku tertegun. Termenung. Bergeming. Mematung. Hatiku bergejolak. Air mataku tumpah. Sangat deras!
Getaran cinta berdenyut di nadiku. Frekuensi suara hatiku itu terdengar sangat jelas. Aku merasakannya! Merasakan sebuah perasaan yang sulit diutarakan oleh kata – kata. Hanya  yang pernah merasakannyalah yang dapat mengartikannya.

Rasanya kasih sayang Allah yang selama ini aku pungkiri merengkuhku. Aku tenggelam dalam haru. Tasbih, tahmid, dan takbir menghiasi setiap benakku. Allah! Allah sahabat yang selama ini terselip, tersembunyi dibalik keangkuhanku. Astagfirullahazim ….

Allah mengambil Anita dari sisiku  sebagai pelajaran untukku agar ku bisa menyikapi makna sehat lebih dalam lagi. Allah menyediakan banyak kasih di sekitarku untuk menghiburku tapi aku membuangnya dengan prinsip konyolku itu.  Dan … Allah mempertemukanku dengan gadis ini, untuk membuktikan bahwa ia masih ada untukku, sebagai sahabat. Ia masih membuka hatinya meskipun aku mengacuhkannya. Ia masih memberikan hidyahnya pada orang hina sepertiku. Astagfirullahalazim ….

“Kakak kenapa menangis? Maafkan Caca kalau Caca menyakiti hati kakak.” Ujarnya dari bibir mungilnya ini.
“Tidak apa. Kakak baik – baik saja. Bahkan lebih baik dari apapun yang membuat kakak merasa lebih baik.” Aku memeluk gadis ini. Erat sekali.

Kini aku yakin seyakin – yakinnya bahwa sahabat sejati itu benar – benar ada. Meskipun ia hanya satu, tapi ia tak akan tergantikan oleh apapun, bagaimanapun, dimanapun, dan kapanpun.  
      
Untuk Allah, Caca, dan Anita, terima kasih telah mengajariku arti sahabat sejati, sebuah persahabatan abadi yang sesungguhnya ….

Tidak ada komentar:

Pengikut :

Voting yukss ;))