Awalnya aku tidak percaya sahabat sejati itu memang ada, sama sekali
tidak percaya! Bagiku semua itu bulshit adanya. Sahabat yang selalu ada
untukku, berbagi suka duka bersama, dan menjunjung tinggi semangat
persaudaraan, bagiku tidak pernah ada di dunia ini. Satu pun tidak akan
pernah ada. Semua akan hilang dan meninggalkanku!
Tapi,
suatu ketika ada sebuah rahasia besar yang mengubah paradigmaku mengenai
sahabat sejati. Ada yang terlupakan dari semua ini. Terselip begitu
saja. Aku mengacuhkan hal berharga itu. Aku memang masih memahami konsep
sahabat sejati hanya hoax belaka, kecuali, dengan satu kemungkinan :
jika kau membuka hatimu untuk menerima sesuatu yang riskan itu, sahabat
sejati itu mungkin bukanlah sebuah omong kosong belaka.
***
Aku
berdiri mematung di kantin. Bergeming seraya fokus melihat dengan
pandangan jijik. Sosis merah dilumuri saus yang seolah – olah
menggiurkan, bakso yang begitu kenyal, keripik yang rasanya sangat
gurih, mie yang terlihat sangat liat sekali, dan otak – otak yang tak
ubahnya seperti makanan – makanan rusak. Aku begitu phobia melihat
makanan – makanan itu. Ya, baru melihatnya saja aku sudah seperti itu,
apalagi memakananya, dijamin aku akan koma beberapa bulan!
Semua
makanan rusak itu begituku benci, karena gara – gara makanan – makanan
itu sahabatku, Anita, meninggal dunia! Anita, sahabat terbaikku (dan
kupikir juga sahabat sejatiku), terkena kanker otak yang disebabkan oleh
makanan – makanan yang banyak mengandung boraks, formalin, dan entah
bahan kimia apa yang terkandung di dalamnya. Dokter mendiagnosis di
dalam tubuhnya sudah ada 6 g boraks yang mengendap sejak bertahun –
tahun (itu belum termasuk zat – zat kimia lainnya seperti, pewarna dan
pengawet).
Sel – sel kanker yang ada di tubuh Anita
berkembang begitu cepat. Daya tahan tubuhnya juga tak kuat menahan
serangan demi serangan yang diluncurkan oleh racun –racun itu. Ditambah
lagi Anita tidak suka makan sayur – sayuran dan buah – buahan. Ironis
memang, tapi itulah kenyataannya. Dan, semenjak saat itu aku begitu
membenci makanan itu. Makanan rusak itu.
“Rara …” Yani
teman sekelasku, kelas 7.8 tepatnya, berlari kearahku. Rambut panjangnya
yang digerai bergoyang – goyang di terpa angin. Menurutku ia cukup
manis. “Jajan, yuk. Aku punya uang jajan lebih, nih. Hasil lomba pidato
kemarin. Aku ingin mentraktir kamu. Syukur – syukur bisa menghilangkan
dukamu atas kehilangan Anita. Mau, ya!”
Aku merasakan ada
kejanggalan di perkaannya itu. Aku berpikir seperkian detik sebelum
menemukan jawaban yang cocok untuknya, “Maksudmu? Oh! Kamu senang Anita
meninggal? Lalu, kamu merayakan kepergian Anita dengan mentraktir aku,
begitu? Kamu jahat, Yan!”
Aku benar – benar tak habis pikir dengan
Yani. Anita itu sahabat terbaikku, tidak boleh ada yang
memperlakukannya seperti itu. Menyebalkan!
“Kok, kamu
bicaranya ketus seperti itu, sih? Sekalipun aku tidak pernah bahagia
dengan kepergian Anita. Itu tidak mungkin.” Tukas Yani dengan mata yang
berkaca- kaca. “Aku hanya tidak ingin melihatmu bersemedi dengan
kesedihanmu itu. Aku ingin jadi teman baikmu.”
“Kamu tidak akan
bisa menggantikan Anita, Yani!” emosiku semakin meluap, “Aku sangat
menyayangi Anita, wajar kalau aku sedih atas kepergiannya.”
“Tapi
ini terlalu jauh, Ra. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir – akhir ini
kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup.
Kamu bukan Rara yang aku kenal.”
“Terserah!” Sebelum aku benar –
benar pergi meinggalkan Yani, aku sempat melirik sosis yang ia lahap
begitu nikmat. “Racun.” Ucapku tegas dan dalam. Aku melihat ekpresi
wajah Yani mendadak khawatir. Aku pun berlalu setelah membuatnya depresi
berat.
***
Sepulang sekolah aku menunggu kereta di
stasiun Kebayoran Lama, tepatnya di kawasan Jakarta Selatan. Rumahku di
Tanah Abang. Sementara aku bersekolah di SMPN ** Jakarta, kecamatan
Kebayoran baru. Otomatis dengan begitu, aku harus menggunakan kereta
untuk sampai ke rumahku.
Huek! Aroma khas dari keringat para
manusia merasuki hidungku dengan sangat semangat saat aku masuk ke dalam
kereta. Desak – desakkan penumpang membuat hatiku semakin kesal. Para
pedagang pun menambah kebisingan. Ah … izinkan aku pingsan!!!
Kejengkelan hatiku semakin merajalela saat aku mengingat kembali perkataan Yani tadi pagi.
“Tapi
ini terlalu jauh, Ra. Kamu menjadi sangat berbeda. Akhir – akhir ini
kamu begitu emosian, suka menyendiri, pembangkang, dan sangat tertutup.
Kamu bukan Rara yang aku kenal.”
Ishh! Memangnya dia tahu apa
tentang hidupku? Menyebalkan! Luka hatiku saja belum sembuh benar atas
kehilangan Anita. Aku trauma! Dia adalah sahabat terbaikku, selalu
bersamaku, kami berbagi suka dan duka. Yani itu tidak tahu apa – apa.
Seharusnya dia tak perlu ikut campur urusanku!
Memang
benar, akhir – akhir ini sifatku begitu berubah, aku akui itu. Jujur,
hidupku hampa. Tak ada motivasi. Tak ada semangat. Bahkan aku tidak
ingin berteman dengan siapapun. Aku tidak mau menyayangi siapapun lagi.
Sudah cukup aku kehilangan Anita, tidak lagi untuk yang kedua kalinya.
Jangan
dekat dengan siapapun, jangan menyayangi siapapun, dan jangan percaya
pada sahabat sejati karena sahabat sejati tidak pernah ada, dengan
begitu kau tidak akan pernah menangis akan kehilangan. Itulah prinsipku
saat ini. Aku berusaha untuk membenci atau lebih tepatnya menjauhi
siapapun saat ini. Egois dan bodoh memang. Rasa trauma sudah mendarah
daging dalam jiwaku. Aku seperti kehilangan jati diri. Biarkan! Aku
tidak peduli.
***
Aku bergegas turun dari
kereta di stasiun Tanah Abang. Setelah memastikan aku berdiri di tempat
yang aman, aku pun merapikan ikatan sepatuku agar tidak terinjak –
injak. Lalu, membenarkan letak tas punggungku.
Kebetulan, tepat di
sampingku ada penjual cermin, tentu saja aku berkaca sebentar dan
terkejut sebentar. Wajahku seperti kepiting goreng, direbus, diberi
beberapa cabe, digoreng lagi, lalu hangus! Berlebihan memang, tapi hal
itu cukup menggambarkan bahwa karbon monoksida bus Metromini sanggup
membuat wajahku seperti ini. Rambutku yang sebahu aku ikat. Tak dapat
dipungkiri Jakarta memang sangat panas!
Setelah puas
melihat bentuk wajahku yang tak karuan, aku kembali berjalan. Namun,
tiba – tiba saja mataku terfokus pada satu titik. Aku melihat seorang
gadis kecil sedang mengais – ngais tong sampah yang ada di dekatnya.
Lalu gadis itu berjalan ke gerbong tua yang sudah tidak terpakai lagi.
Ia duduk disana sambil memakan apa yang dia ambil dari tong sampah.
“Makanan
rusak. Racun.” Gumamku. Tadinya aku hendak berlalu begitu saja,
sayangnya getaran aneh di hati ini mencegahku. Getaran yang membuat
hatiku tergerak untuk memberikan bekalku yang tak kumakan, karena sudah
merasa mual melihat jajanan kantin yang menjijikan. “Apa salahnya? Toh,
hanya memberinya dua potong roti. Hal itu tidak akan mungkin membuatku
dekat dengannya.” Gumamku lagi.
Aku pun mendekatinya
dengan tampang jijik. Tapi sejurus kemudian sirna saat melihat wajah
mungil itu. Ada guratan – guratan ketegaran terpancar dari wajahnya. Ia
kemudian tersenyum kepadaku.
“Ada yang bisa Caca bantu, kak?” tanyanya sambil membalikkan badannya ke arahku.
“Namanya Caca, ya? Hmmm, tidak ada. Kakak cuma mau Caca menerima roti ini.”
Gadis
cilik ini menerima roti pemberianku dengan sangat girang. Rasanya ada
kepuasan batin tersendiri di hatiku. Kepuasan batin yang tak pernah ku
raih semenjak hatiku selalu tertutup awan hitam, legam, dan pekat.
“Terima kasih, ya, kak. Kakak baik sekali. Pasti Allah sayang sama kakak.”
“Emmm,” aku menggigit bibir sembari berpikir agak keras.
Allah? Sayang denganku? Benarkah?
“Caca sendirian?”
“Iya. Kakak tidak lihat? Tidak ada orang lain bersama Caca selain kakak disini.”
“Bukan.” Hmmm … pintar juga anak ini. “Maksud kakak, dimana orang tua Caca? Kok Caca sampai mencari makan di tong sampah itu?”
Gadis ini menunduk, tampak jelas ekspresi sedih di wajahnya. Ia kemudian menggeleng.
“Maaf ….” Tukasku merasa bersalah
Aku
merasa ketidakadilan disini. Mengapa Allah tega merenggut kedua orang
tua gadis cilik ini. Dia butuh kasih sayang. Oh, malangnya! Dia juga
bernasib sama denganku. Menjadi pemeran utama dalam skenario kehilangan.
“Allah memang tidak adil, ya, Ca. Ia selalu mengambil apa yang seharusnya kita miliki.” Ujarku tak habis pikir.
“Astagfirullahalazim!”
katanya tegas. “Kok kakak bicara lancang seperti itu? Allah itu maha
adil, itu yang selalu ibu bilang saat sebelum kecelakaan itu menimpa
keluarga Caca. Bukan berarti Allah tidak adil hanya gara – gara
mengambil seluruh anggota keluarga Caca Ibu, Ayah, dan Bang Ihsan.
Justru Allah sayang dengan Caca, karena Allah mengajari Caca untuk
hidup mandiri. Dengan begitu Caca akan tegar menghadapi hidup yang
keras. Caca bahagia, kok, karena Caca tahu Ibu, Ayah, Bang Ihsan juga
bahagia di surga sana.”
Aku terkesiap dengan mata setengah
membelalak mendengarnya. Sungguh fenomena menabjubkan! Anak kecil yang
umurnya kira – kira belum genap delapan tahun ini bisa berfilosofi
demikian! Apa yang membuatnya begitu tegar?
Rasanya aku menjadi
sangat rendah dan hina jika dibandingkan dengan anak ini. Aku saja yang
kehilangan sahabat terbaikku, Anita, tidak dapat setegar ini. Bahkan, ah
… aku malu mengakuinya! Aku memang sangat bodoh dan egois! Haduh … apa
sih yang ada di pikiranku saat ini?
“Kakak boleh bertanya satu hal?” kataku seraya menyembunyi gejolak yang ada di hati ini.
“Boleh
saja. Kalau Caca bisa jawab ya syukur, kalau tidak, ya … jadi PR saja,
deh. Hehehe .” Anak ini begitu ceria. Aku menangkap ketenangan batin
yang ada di anak ini. Seperti tidak ada beban sedikit pun yang
menghimpitnya.
“Kenapa Caca bisa setegar ini?” pertanyanku terbata – bata.
“Karena Caca punya sahabat sejati.”
Deg.
“….”
Sahabat
sejati? Itu yang aku pungkiri selama ini. Bukankah sahabat sejati itu
tidak pernah ada. Tidak pernah ada yang abadi di dunia ini. Semua semu
dan akan hilang. Tapi, kenapa? Kenapa anak ini begitu percaya kalau
sahabat sejati memang benar – benar ada?
“Benarkah?” intonasiku diperlambat untuk menengaskan bahwa aku benar – benar tidak mengerti. “Siapa dia?”
“Itu …,” gadis ini menunjuk ke langit yang begitu cerah. Matanya sedikit menyipit menghindar dari matahari, “Dia ada di
singgasana
terbesarnya. Di surga bersama Ayah, Ibu, dan Bang Ihsan. Dia selalu ada
untuk Caca. Menemani hidup Caca. Membuat Caca tegar. Tidak akan pernah
meinggalkan Caca.” Jawabnya mantap. Bahkan sangat mantap. Tidak ada
keraguan sedikitpun di matanya.
“Maksudmu, A …, All …, Allah?” aku sedikit ragu.
“Yup!”
Aku tertegun. Termenung. Bergeming. Mematung. Hatiku bergejolak. Air mataku tumpah. Sangat deras!
Getaran
cinta berdenyut di nadiku. Frekuensi suara hatiku itu terdengar sangat
jelas. Aku merasakannya! Merasakan sebuah perasaan yang sulit diutarakan
oleh kata – kata. Hanya yang pernah merasakannyalah yang dapat
mengartikannya.
Rasanya kasih sayang Allah yang selama ini
aku pungkiri merengkuhku. Aku tenggelam dalam haru. Tasbih, tahmid, dan
takbir menghiasi setiap benakku. Allah! Allah sahabat yang selama ini
terselip, tersembunyi dibalik keangkuhanku. Astagfirullahazim ….
Allah
mengambil Anita dari sisiku sebagai pelajaran untukku agar ku bisa
menyikapi makna sehat lebih dalam lagi. Allah menyediakan banyak kasih
di sekitarku untuk menghiburku tapi aku membuangnya dengan prinsip
konyolku itu. Dan … Allah mempertemukanku dengan gadis ini, untuk
membuktikan bahwa ia masih ada untukku, sebagai sahabat. Ia masih
membuka hatinya meskipun aku mengacuhkannya. Ia masih memberikan
hidyahnya pada orang hina sepertiku. Astagfirullahalazim ….
“Kakak kenapa menangis? Maafkan Caca kalau Caca menyakiti hati kakak.” Ujarnya dari bibir mungilnya ini.
“Tidak
apa. Kakak baik – baik saja. Bahkan lebih baik dari apapun yang membuat
kakak merasa lebih baik.” Aku memeluk gadis ini. Erat sekali.
Kini
aku yakin seyakin – yakinnya bahwa sahabat sejati itu benar – benar
ada. Meskipun ia hanya satu, tapi ia tak akan tergantikan oleh apapun,
bagaimanapun, dimanapun, dan kapanpun.
Untuk Allah, Caca, dan Anita, terima kasih telah mengajariku arti sahabat sejati, sebuah persahabatan abadi yang sesungguhnya ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar