“Kamu dijemput siapa?” tanya
Reza, teman sekelasku.
“Ayah,” jawab saya.
“Kamu selalu dijemput Ayah?”
tanya Reza lagi.
Saya mengangguk, “Iya, Ayah
selalu jemput. Jemput saja karena pagi dianter mobil jemputan sekolah,” jawab
saya lagi.
Biasanya, abis asar Ayah sudaha
ada di depan sekolah, tapi sudah sepuluh menit lewat, Ayah belum datang juga.
Saya melihat jam tangan dengan gelisah. Takut terjadi apa-apa di jalan.
“Kamu enak, bisa dijemput Ayah,”
kata Reza beberapa saat kemudian. Setelah kami sama-sama diam.
“Memangnya kamu tidak pernah
dijemput Ayah?”
Reza menggeleng.
“Oh. Tapi kamu pakai antar jemput
sekolah, kan?”
Reza mengangguk.
“Berarti tidak dijemput Ayah juga
tidak apa-apa.”
Diam-diam saya melihat mata Reza.
Sepertinya dia mau nangis. Apa saya salah bicara, ya?
“Kamu kenapa?” akhirnya saya
bertanya.
Reza menggeleng, “Tidak apa-apa.
Aku hanya ingin dijemput Ayah,” katanya.
Saya sedikit lega, “Kamu tinggal
minta dijemput ayah kamu, kan?” tanya saya kemudian.
“Sudah, tapi Ayah selalu bilang
tidak bisa,” jawab Reza sambil menunduk. Sepertinya, dia sekarang sudah
menangis. Saya memberi sepotong coklat yang sedang saya makan.
“Tidak bisa kenapa?”
“Ayahku sangat sibuk. Ayah pergi
ke kantor pagi-pagi sekali, bahkan ketika aku belum bangun. Ayah pulang kantor
malam-malam, saat aku sudah tidur. Aku ketemu hanya hari sabtu dan minggu. Itu
pun kalau Ayah tidak ada kegiatan di kantor.”
“Ooooh ...,” tiba-tiba saya
teringat Ayah yang sampai sekarang belum jemput juga, padahal sudah lama sekali
menunggu.
Ayah saya beda dengan ayah-ayah
yang lain. Tiap pagi ayah yang membangunkan saya dan adik-adik saya. Ayah juga
yang memandikan saya dan adik-adik saya. Kadang-kadang kalau bunda sedang sibuk,
ayah juga yang menyuapi saya dan adik-adik saya sarapan.
Saya pernah tanya, kenapa ayah
melakukan itu semua? Ayah jawabnya karena sayang sama saya dan adik-adik saya.
Juga sayang sama Bunda. Sejak adik kedua saya lahir, di rumah tidak ada
pembantu, jadi ayah dan bunda berbagi tugas mengurus saya dan adik-adik saya.
“Reza, jemputan kamu sudah mau
pergi,” kata saya.
“Oh iya, aku pulang dulu, ya,”
kata Reza.
Saya mengacungkan jempol.
“Kapan-kapan boleh kan, aku minta
dijemput ayah kamu?” kata Reza sebelum pergi.
Saya tertawa kecil, “Ok. Nanti
saya bilang Ayah, ya, kalau tidak sibuk,” kata saya.
Sepeninggal Reza, mobil Ayah
datang. Saya tersenyum lebar melihat mobil ayah berhenti tepat di depan saya.
Ayah menyuruh saya masuk mobil. Tidak lama kemudian mobil melaju kembali ke
rumah. Ayah saya juga sibuk seperti ayah reza, tapi selalu punya waktu untuk
saya. ah, ayah saya memang beda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar